Aswaja Magazine

0
Menelusuri Jejak Penyebaran Islam di Pekalongan
Penyebaran Islam di Pekalongan Abad XV-XVII

Kuatnya nuansa santri yang religius dalam kehidupan masyarakat Pekalongan merupakan satu bukti keberhasilan Islamisasi. Hal ini tentunya dapat dirunut jauh ke belakang dari masa awal penyebaran agama Islam itu sendiri. Pekalongan sebagai daerah pesisir, sebagaimana daerah pesisir utara Jawa lainnya, merupakan sasaran dakwah yang awal dibandingkan daerah pedalaman, sehingga sangat wajar mengalami perkembangan yang lebih cepat. selain itu, banyak terdapat situs makam auliya’ yang tersebar dari dataran rendah di utara sampai daerah dataran yang lebih tinggi di daerah selatan. Bukti ini mendukung pandangan umum yang berlaku bahwa Islam datang dan menyebar di Jawa berkat jasa para wali, lebih khusus lagi para Walisongo.

Meskipun daerah Pekalongan telah berpenghuni sejak zaman prasejarah, namun nama Pekalongan itu sendiri baru muncul pada masa kerajaan Mataram Islam pada masa Sultan Agung. Adapun proses islamisasi dipastikan telah sampai ke daerah yang nantinya menjadi wilayah Pekalongan ini jauh sebelum berdirinya kerajaan Mataram Islam.

Pada abad ke-15 kemungkinan besar proses Islamisasi telah ada di Pekalongan. Pada masa Raden Rahmat atau Sunan Ampel (w.1481 M) yang dianggap sebagai pemimpin Wali Sanga, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi edisi Meinsma. Sunan Ampel telah sukses melakukan penyebaran Islam setelah mendirikan pesantren di Kembang Kuning. Pondok Pesantren ini menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Di tempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam sebagai kader untuk kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa, antara lain Raden Paku atau Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi Sultan pertama Demak, Raden Makdum Ibrahim, putranya yang terkenal dengan sebutan Sunan Bonang kemudian Syarifuddin yang belakangan dikenal dengan sebutan Sunan Drajat.

Salah seorang murid Sunan Ampel yang makamnya ditemukan di desa Wonobodro Kecamatan Blado Kabupaten Batang bernama Syaikh Zilbani. Namun sejauh ini belum diperoleh informasi mengenai sejarah hidup Syaikh Zilbani kecuali hanya informasi bahwa ia sebagai murid Sunan Ampel. Dimungkinkan sekali wilayah dakwah beliau tidak hanya terbatas di Wonobodro atau Batang saja, namun juga meliputi daerah Pekalongan dan sekitarnya. Mengingat antara Batang dan Pekalongan adalah dua kota dan daerah yang berdekatan. Selain itu, di kompleks pemakaman Wali di Desa Wonobodro terdapat juga makam Maulana Maghribi dan Ki Ageng Pekalongan. Keberadaan makam murid Sunan Ampel di daerah ini mengindikasikan bahwa pada abad ke-15 penyebaran Islam telah sampai di daerah Pekalongan.

Pada periode perkembangan berikutnya perkembangan Islam melaju dengan pesat bersamaan munculnya kerajaan Islam Demak (1472-1546 M). Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam. Secara berangsur-angsur islamisasi menunjukkan keberhasilannya di daerah pesisir utara Jawa Tengah pada abad ke-15. Dengan perkembangan tersebut, para wali menganggap tepat saatnya untuk membangun Masjid Agung di ibukota kerajaan Bintoro Demak sebagai sarana penyebaran keilmuan Islam yang lebih efektif. Masjid Agung Demak ini dibangun sekitar tahun 1479 M atau 884 H. Masjid yang didirikan oleh para wali ini memiliki peran sangat penting dalam penyebaran keagamaan Islam di Jawa Tengah. Masjid Demak ini mengalami renovasi pertama oleh putra Raden Patah yaitu Raden Trenggana (berkuasa 1504 M-1546 M) pada tahun 1506 M.

Peristiwa pembangunan Masjid Agung Demak tersebut ada hubungannya dengan pembangunan masjid tertua di kota Pekalongan yakni Masjid Aulia yang berada di lokasi Pemakaman Umum Kelurahan Sapuro, Kecamatan Pekalongan Barat. Bangunan Masjid ini didirikan pada tahun 1135 Hijriah, yang berarti usia masjid tersebut sudah mencapai 295 tahun. Diduga dari masjid inilah penyebaran agama Islam dilakukan di kawasan Pantura. Menurut Kiai Dananir, salah satu pengelola masjid, bangunan masjid yang tergolong tua di Kota Pekalongan itu, penuh dengan nilai-nilai sejarah penyebaran Islam di daerah pesisir pulau Jawa. Seperti terlihat pada kayu-kayu untuk bangunan masjid Aulia yang berasal dari sisa pembangunan Masjid Demak masa Walisongo. Kemudian mimbar untuk khutbah berornamen ukir-ukiran lengkap dengan trap tangga layaknya masjid-masjid tua, ternyata mimbar itu merupakan hadiah dari kerajaan Demak Bintoro masa Walisongo. Bahkan terlihat adanya prasasti di atasnya bertuliskan tahun 1208 Hijriyah.

Ditambahkan, perjalanan sejarah pembangunan Masjid Aulia diawali dari siar agama Islam dari tokoh ulama Bintara Demak melalui pesisir Pantura, masing-masing Kyai Maksum, Kyai Sulaiman, Kyai Lukman dan Nyai Kudung. Keempat ulama itu sedianya membangun masjid di sekitar Alas (hutan) Roban (Plelen-Batang). Bahkan pondasinya dan tempat wudlu sudah dibuat. Namun belakangan mereka memperoleh petunjuk jika daerah setempat nantinya tidak ada penghuninya. Sehingga pendirian masjid tidak diteruskan (situsnya masih ada di seputar Alas Roban Batang). Merekapun akhirnya menemukan tempat di Sapuro.

Di sekitar lokasi tersebut terdapat makam habib atau ulama-ulama besar maupun tokoh kerajaan. Di antaranya, Habib Ahmad Alatas, Pangeran Adipati Aryo Notodirjo yang wafat tahun 1899, Bupati Pasuruan R. Tumenggung Amongnegoro yang wafat tahun 1666 dan beberapa sesepuh lainnya.

Keberadaan Masjid Auliya’ tidak dipungkiri merupakan bukti sejarah yang penting bagi masyarakat Pekalongan. Akan tetapi kalau kita cermati, terutama tahun pendiriannya yakni 1135 H atau sekitar dengan 1723 M maka akan sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan pendirian masjid Agung Demak 1479 M maupun masa renovasi pertama kali pada masa Sultan Trenggana pada 1506 M. Oleh karena itu bisa jadi apa yang disampaikan perlu pengkajian lebih lanjut.

Masih berkaitan dengan Masjid Agung Demak sebagai pusat penyiaran Islam di pesisir Utara Jawa Tengah. Di kabupaten Pekalongan, tepatnya di desa Rogoselo Kecamatan Doro terdapat petilasan/cagar alam Arca Baron Sekeber dan Makam Ki Gede Atas Angin atau Pangeran Atas Angin. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat Baron Sekeber adalah orang Eropa yang sakti yang berkelana untuk menjajal kesaktiannya. Konon ia hanya dapat terkalahkan oleh Ki Gede Atas Angin seorang wali sakti dan jasadnya menjelma menjadi arca batu.

Sebagaimana disebut De Graaf dan Pigeaud, mengutip hikayat Hasanuddin, setelah Masjid Agung Demak berdiri maka ditunjuklah Sunan Bonang, Putra Raden Rahmat untuk menjadi imam namun kemudian beliau meletakkan jabatan itu untuk pergi mula-mula ke Karang Kemuning kemudian ke Bonang. Pengganti Sunan Bonang adalah suami cucu Nyai Gede Pancuran yang diberi nama Makdum Sampang. Nyai Gede Pancuran adalah putri Raden Rahmat yang konon menikah dengan Pangeran Karang Kemuning, seorang alim ulama dari “Atas Angin” dari Barat. De Graaf dan Pigeaud memperkirakan ia adalah orang Melayu atau orang yang berasal dari India atau Arab yang bernama Ibrahim.

Kesamaan nama sebagaimana disebut De Graaf dengan legenda yang hidup di Masyarakat Rogoselo tentang Ki Gede Atas Angin, ada kemungkinan merujuk kepada tokoh yang sama. Kalau hal ini benar maka Ki Gede Atas Angin ini adalah menantu Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Seorang ulama yang turut menyebarkan agama Islam di daerah Pekalongan. Namun bila dikaji dari sisi Baron Sekeber yang kabarnya adalah orang Belanda atau Eropa. Dimana kedatangan orang Eropa ke Jawa adalah jauh sesudah masa Raden Rahmat. Maka argumentasi Ki Ageng Atas Angin adalah orang yang sama agaknya terpatahkan dengan sendirinya.

Selain makam Ki Gede Atas Angin di Desa Rogoselo, di sebelah selatan masjid kauman Rogoselo juga terdapat makam wali yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam. Beliau adalah Ki Ageng Rogoselo atau menurut Habib Luthfi bin Yahya nama aslinya adalah Syaikh Abdullah. Atas saran dari Habib Luthfi nama beliau diabadikan menjadi Nama masjid di kompleks Batalyon 407 Kompi C Senapan di Wonopringgo. Belum diperoleh informasi yang jelas mengenai asal-usul dan biografi Syaikh Abdullah ini.

Dari sebutan para penyebar Islam di Pekalongan di atas di mana menggunakan sebutan Ki Ageng, Ki Gede atau Ki Agung ada kemungkinan bahwa mereka itu termasuk bagian dari Bhayangkari Islah (pelopor kebaikan), yaitu para penyebar keagamaan yang diorganisir oleh para wali dengan tugas melaksanakan penyebaran agama sejak masa Sunan Ampel.

Jejak penyebaran Islam di Pekalongan dapat ditelusuri juga dari keberadaan petilasan yang diyakini warga sekitar sebagai petilasan Syaikh Siti Jenar yang terdapat di desa Lemah Abang Kecamatan Doro. Syaikh Siti Jenar disebutkan pernah berguru kepada Sunan Giri, namun pengaruh tarekat yang pernah dipelajarinya di Gujarat lebih kuat pada dirinya. Syaikh Siti Jenar adalah pengikut tarekat Akmaliyah. Tarekat ini berhulu kepada Abu Yazid al-Bustami (w. tahun 874 M) dan al-Hallaj (abad 9 M) yang mengajarkan pantheisme. Dengan demikian di Pekalongan pada abad ke-15 dan 16 penyebaran Islam yang bercorak tasawuf heterodoks telah berlangsung dan ini kebanyakan berlangsung di daerah selatan di mana corak kehidupan masyarakatnya agraris yang kehidupannya relatif kurang dinamis.

Dari beberapa paparan di atas, tampaknya Islamisasi di Pekalongan selalu memiliki kaitan dengan dengan sosok Sunan Ampel dan Sunan Giri sebagai pemimpin organisasi Bhayangkari Islah. Bahkan ketika Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran Islam ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1635 M, sebagaimana dikisahkan dalam Serat Centhini, anak-anak Sunan Giri, yaitu Pangeran Jayengresmi, Jayengsari, dan Rancangkapti, mengembara (dibuku ditulis escape) meninggalkan Gresik untuk menyelamatkan diri, dengan terus menyebarkan agama Islam. Akan tetapi, perjalanan mereka tidak seiring sejalan. Jayengresmi (kelak menjadi Seh Amongrogo) yang ditemani santrinya Gathak dan Gathuk (Jamal dan Jamil) dari Giri menuju Karang, sedangkan kedua adiknya yang bermaksud mencarinya, dengan ditemani santrinya Buras, dari Giri menuju Pekalongan kemudian ke Sukoyoso (posisinya di sekitar Magelang, Jawa Tengah). Dari kisah ini Pekalongan dianggap sebagai daerah yang cukup penting sebagai tempat untuk menyelamatkan diri sekaligus tempat berdakwah. Saat itu dipastikan daerah Pekalongan sudah banyak komunitas Islamnya sebagai hasil penyebaran Islam pada dua abad sebelumnya.



Referensi:
Graaf, H.J. De, TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (Jakarta: Grafiti Press, 2001).

Hasymi, A. Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al Ma’arif, 1993).

http://wikimapia.org/6072234/id/Masjid-Aulia-Tertua-Di-Kota-Batik-Pekalongan-berdiri-tahun-1135-H

Ismawati, Continuity and Change Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Abad XIX-XX (Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag RI, 2006), hal. 41. Mengutip De Graaf dalam J.J. Ras, Babad Tanah Jawi (Dordrecht: Foris Publication, 1987).

Kushartati, Hidup adalah sebuah perjalanan, Resensi atas buku The Centhini The Javanese Journey of Life Story karya Dr. Soewito Santoso, dalam http://community.kompas.com/kokiresensi/buku.

Sofwan, Ridin, et. al, Islamisasi di Jawa Walisongo Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Sunyoto, Agus, Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar (Yogyakarta: LKiS, 2003).
Suryo, Djoko, dkk., Agama dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: LKPSM, 2001).

Thohir, Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran (Semarang: Fasindo Press, 2006).

Tim Penyusun, Mengenal Kabupaten Pekalongan Beribu kota di Kajen (Kajen: Dindik Pemkab Pekalongan, 2004).

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Aswaja Magazine dengan menjadi Kontributor

Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger

 
Top